Arab Saudi sejak 26 Maret 2015 dengan dalih mengembalikan legitimasi di Yaman, menggempur negara termiskin di Timur Tengah itu.Agresi Saudi ...
Arab Saudi sejak 26 Maret 2015 dengan dalih mengembalikan legitimasi di Yaman, menggempur negara termiskin di Timur Tengah itu.Agresi Saudi sudah memasuki bulan kedua, tapi rezim Al Saud belum berhasil mengirim kembali Presiden terguling Yaman, Abd-Rabbu Mansour Hadi ke Sanaa dan Riyadh sekarang juga terjebak dalam sebuah krisis,yang sulit menemukan jalan keluarnya. Selama dua bulan ini, serangan Saudi membawa dampak-dampak negatif yang mengerikan bagi keluarga Al Saud. Meningkatnya sentimen rakyat Yaman terhadap Saudi merupakan salah satu dampak penting serangan itu bagi Riyadh.
Agresi Saudi di Yaman sejauh ini menewaskan lebih dari 3.000 orang dan melukai lebih dari 6.000 lainnya. Perempuan dan anak-anak adalah korban utama perang itu. Sarana infrastruktur ekonomi dan sosial Yaman hancur total digempur oleh jet-jet tempur koalisi. Kehancuran itu menimpa enam bandara sipil dan lebih dari setengah pabrik serta pusat jaringan air bersih dan listrik yang beroperasi di Yaman. Sejumlah pangkalan militer Yaman juga porak-poranda dihantam ganasnya serangan Saudi. Rekonstruksi sarana yang rusak akibat perang membutuhkan dana yang sangat besar danYaman – sebagai negara Arab termiskin di Timur Tengah – tentu tidak punya kemampuan untuk melakukan itu.
Pemanfaatan sumber-sumber dana untuk program rekonstruksi juga akan menambah angka kemiskinan di Yaman dan menciptakan persoalan baru ekonomi. Realitas ini diketahui oleh publik Yaman dan kebencian mereka terhadap rezim Saudi meningkat secara signifikan. Berkenaan dengan kondisi ini, beberapa analis mengatakan jika sebelum serangan digelar jumlah warga Houthi hanya sekitar 40 persen dari total penduduk Yaman, namun kini setiap warga Yaman menganggap dirinya sebagai seorang Houthi dan bagian dari pasukan pejuang Ansarullah.
Dampak lain perang Saudi di Yaman adalah tercorengnya citra Al Saud sebagai pelayan dua tempat suci dan mereka juga disandingkan dengan rezim Zionis Israel. Rezim Al Saud sejauh ini melakukan banyak upaya untuk memanfaatkan dua tempat suci di Arab Saudi sebagai sumber kekuatan lunaknya di dunia Islam. Strategi keliru di Yaman dan penayangan gambar-gambar perempuan dan anak-anak korban keganasan Saudi, membuat Al Saud harus berhadapan dengan sejumlah pertanyaan dari publik dunia Islam. Bagaimana “seorang pelayan” dua tempat suci bisa membantai saudara-saudaranya sesama Muslim? Bagaimana seorang yang mengklaim dirinya sebagai pemimpin dunia Muslim bisa melakukan kejahatan,seperti yang dipertontonkan Israel di Jalur Gaza?
Lebih dari setengah penduduk Yaman adalah penganut mazhab Sunni dan mereka sekarang menjadi korban arogansi Al Saud.Media-media Israel meliput secara besar-besaran serangan Saudi ke Yaman dan mereka pun menulis, “Lalu, apa perbedaan antara tindakan Saudi terhadap Yaman dengan aksi Israel di Gaza?”Jelas bahwa penyandingan Al Saud di samping para pemimpin Zionis merupakan sebuah aib bagi keluarga yang mengaku membela dan mengabdi kepada dua tempat suci.
Saudi melalui agresinya sedang berupaya untuk mencegah Ansarullah berkuasa di Yaman dan menciptakan perpecahan di tengah kubu-kubu politik di negara itu. Namun sayangnya, kejahatan Saudi di Yaman justru berbuah sebaliknya. Setelah serangan dimulai, Partai al-Nasiri, Baath, dan Nasional Yaman memilih berkoalisi dengan Ansarullah dan kejahatan rezim Al Saud justru memperkuat persatuan faksi-faksi politik di Yaman. Hanya beberapa kelompok yang tidak punya basis massa di Yaman yang mendukung tindakan Saudi seperti, Partai Islah pimpinan al-Ahmar, para pendukung Mansour Hadi, dan organisasi-organisasi Takfiri Al Qaeda dan ISIS.
Arab Saudi selalu melihat kepentingannya dalam pertikaian internal di Yaman. Namun, serangan mereka malah mengurangi perpecahan dan fenomena ini bisa membatasi pengaruh Riyadh di Sanaa. Dengan kata lain, Yaman pasca serangan tidak akan lagi menjadi halaman belakang Saudi dan rezim Al Saud kehilangan salah satu zona terpenting untuk menebarkan pengaruhnya di dunia Arab. Inilah buntut dari sebuah strategi yang keliru.
Menguatnya Al Qaeda di Yaman merupakan salah satu konsekuensi penting dari agresi Saudi. Selama beberapa tahun terakhir, Al Qaeda beroperasi di beberapa wilayah Yaman, termasuk di Provinsi Abin dan Hadramaut. Kelompok teroris itu melihat serangan Saudi sebagai sebuah kesempatan untuk merekrut anggota baru dan memperkuat posisinya di kawasan. Sebagai contoh, Al Qaeda menyerbu sebuah penjara di kota Mukalla,Hadramaut pada2 April lalu dan membebaskan 300 napi. Kebanyakan narapidanayang kabur punya pengalaman dalam operasi Al Qaeda.
Seorang penulis dan pakar terkenal Timur Tengah, Patrick Cockburndalam satu artikelnya di harian The Independent pada 17 April 2015 menulis, “Perang pimpinan Arab Saudi di Yaman akan memberikan banyak keuntungan untuk Al Qaeda. Jika Osama bin Laden masih hidup, ia akan sangat bangga karena jaringan Al Qaeda sedang menguasai Hadramaut, salah satu provinsi terbesar di Yaman.” Menteri Pertahanan Amerika Serikat Ashton Carter bahkan menyebut agresi Saudi di Yaman sama seperti memberi peluang Al Qaeda untuk memperkuat pengaruhnya. Dia mengatakan, “Kelompok teroris Al Qaeda memanfaatkan perang dan tantangan yang ada di Yaman dan memperoleh sejumlah keuntungan.”
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Federica Mogherinidalam sebuah pidatonya untuk mahasiswa di Beijing pada 6 Mei lalu mengatakan, “Perang dan kekacauan di Yaman telah membuka pintu bagi Al Qaeda untuk berkuasa di negara itu. Proses ini sangat berbahaya karena Al Qaeda sedang berupaya untuk mengisi kevakuman yang tercipta di Yaman.”
Arab Saudi menyaksikan kehadiran teroris ISIS di perbatasannya dengan Irakdan sekarang rezim Al Saud juga harus melihat penguatan posisi Al Qaeda di perbatasannya dengan Yaman. Fenomena ini hanya akan meningkatkanancaman terorisme terhadap keamanan nasional dan wilayah teritorial Arab Saudi. Rezim Al Saud dengan tangannya sendiri telah mengisolasi dirinya dan Saudi dengan terorisme dan tentu saja mereka punya agenda penting untuk negeri kaya minyak itu.
Saat memulai agresi ke Yaman pada 26 Maret lalu, rezim Al Saud mengakudibantu oleh sembilan negara lain dan Saudi tidak sendirian dalam menyerang Yaman, tapi sebuah koalisi sepuluh negara ikut berpartisipasi dalam aksi pengeroyokan itu. Namun begitu serangan dimulai, Pakistan menganggap partisipasi dalam perang Yaman tidak sejalan dengan keamanan dan kepentingannya. Turki juga lebih memilih tidak terlibat dalam perang yang dipimpin oleh Saudi, karena kemenangan potensial dalam perang itu hanya akan memperkuat posisi Riyadh di kawasan. Saudi dan Turki adalah dua rival berat di Timur Tengah. Kehadiran negara lain hanya berkontribusi kecil bagi Saudi. Sebenarnya, negara-negara partisipan mengincar dolar minyak Saudi untuk mencegah meningkatnya masalah ekonomi mereka.
Rendahnya tingkat partisipasi sekutu Saudi di perang Yaman membuktikan bahwaAl Saud tidak punya potensi yang meyakinkan untuk membentuk sebuah koalisi dan persekutuan militer yang dinamis. Padahal, Saudi punya mimpi untuk membentuk NATO made in Arabsejak dimulainya agresi ke Yaman. Realitas perang Saudi di Yaman adalah kekalahan Riyadh dari semua lini. Seorang analis terkemuka Amerika, Graham Fuller mengatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa Saudi sedang menampilkan kekuatan baru dan luar biasa melalui intervensi militer di Yaman, Bahrain, Suriah, dan kemungkinan di Libya. Namun, apakah aksi itu akan mendorong terbentuknya sebuah aliansi?Sebuah aliansi yang mencakup orientasi, perspektif, ideologi yang kuat, serta sekumpulan nilai-nilai dan prinsip dalam kebijakan luar negeri.Saat ini, Saudi menelan kekalahan di semua bidang itu.”
Graham Fuller lebih lanjut menerangkan, “Arab Saudi tampaknya gagal dalam memajukan opini dan ideologinya untuk masa depan Timur Tengah. Sebagai gantinya, Saudi ingin menebar ketakutan tentang tujuan dan potensi-potensi Iran di Teluk Persia. Penerbitan fatwa-fatwa rezim Al Saud seputar Islam Syiah telah menjadi sumber utama konflik sektarian dan permusuhan. Serangan tersebut merupakan indikasi dari ketakutan defensif Saudi.”
Mantan Menteri Luar Negeri AS, Colin Powelljuga termasuk di antara politisi yang menumpahkan kekesalannya terhadap rezim Al Saud setelah 41 hari serangan. Dia mengatakan, “Kita keliru telah membiarkan Arab Saudi dengan kondisinya sehingga menyerang Yaman. Kita tidak seharusnya mempercayai janji-janji Riyadh. Raja Salman dan putranya memberitahu kami bahwa perang di Yaman tidak akan lebih dari 10 hari dan militer Saudi mampu memasuki Sanaa setelah tujuh hari serangan. Serangan dimulai dan dampaknya untuk saat ini adalah sebuah tragedi. Tidak ada yang mengira kalau rakyat Yaman berhasil memasuki wilayah Saudi dan menyerang kota-kota di perbatasan serta membunuh tentara Saudi dan merampas senjata mereka.”
Colin Powell menandaskan, “Kita telah memberi dukungan militer dan logistik yang besar untuk Saudi, tapi kita keliru karena memperhitungkan tentara Saudi, mereka lemah dan menteri pertahanan Saudi sama sekali tidak memikirkan kata-kata perang. Oleh sebab itu, kami mengusulkan kepada mitra kami di Riyadh untuk mengakhiri perang.”
Colin Powell telah berkata jujur bahwa Arab Saudi harus mengakhiri perang di Yaman. Namun yang jadi pertanyaan adalah apakah rezim Al Saud punya kemampuan untuk menyudahi perang terhadap Yaman? Jika warga Saudi bertanya kepada para putra mahkota kerajaan tentang hasil-hasil yang sudah diraih dalam perang itu, apakah mereka sudah menemukan jawabannya?